Rabu, 16 April 2014




Materi 3

3.1 Kota
3.1.1 Pengertian Kota
Pada dasarnya kota merupakan wilayah di permukaan bumi yang sebagian besar wilayahnya ditutupi oleh fenomena dan gejala sosial hasil rekayasa manusia, serta merupakan areal konsentrasi penduduk dengan mata pencaharian di luar sektor agraris. Secara lebih terperinci, berikut ini pengertian kota yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
a. R. Bintarto
Kota merupakan sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alamiah yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya.
b. Grunfeld
Kota merupakan suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencarian nonagraris, dan sistem penggunaan tanah yang beraneka ragam, serta ditutupi oleh gedung-gedung tinggi yang lokasinya sangat berdekatan.
c. Burkhard Hofmeister
Kota adalah suatu pemusatan keruangan dari tempat tinggal dan tempat kerja manusia. Kegiatan utamanya bergerak di sektor sekunder (industri dan perdagangan) dan tersier (jasa dan pelayanan masyarakat), pembagian kerja yang khusus, pertumbuhan pen-duduknya sebagian besar disebabkan tambahan kaum pendatang, serta mampu melayani kebutuhan barang dan jasa bagi wilayah yang jauh letaknya.

3.1.2 Ciri-Ciri Kota
Secara umum, ciri-ciri kehidupan kota antara lain sebagai berikut.
a.       Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial, karena adanya keterbukaan terhadap pengaruh dari luar.
b.      Masyarakat kota bersifat gesellschaft (patembayan), di mana kepentingan individu lebih menonjol, sedangkan solidaritas dan kegotongroyongan semakin lemah.
c.       Adanya pelapisan sosial ekonomi, seperti perbedaan tingkat penghasilan, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.
d.      Adanya jarak sosial dan kurangnya toleransi sosial antar-warganya.
e.       Adanya penilaian yang berbeda-beda terhadap suatu masalah dengan pertimbangan perbedaan kepentingan, situasi, dan kondisi kehidupan. Sistem pembagian kerja di kota sangat jelas menurut keterampilan dan keahlian masing-masing.
f.       Warga kota umumnya sangat menghargai waktu.
g.      Cara berpikir dan bertindak warga kota tampak lebih rasional dan berprinsip ekonomis.
h.      Terdapat keteraturan kehidupan sosial sebagai pendukung kehidupan hukum.
i.        Masyarakat kota lebih mengenal hukum negara dibanding hukum adat.

3.1.3 Klasifikasi kota
Kota dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1. Berdasarkan jumlah penduduk, kota dapat diklasifikasikan, menjadi berikut ini.
a)      Megapolitan, yaitu kota yang jumlah penduduknya di atas 5 juta orang.
b)      Metropolitan, yaitu kota yang jumlah penduduknya antara 1 - 5 juta orang. Metropolitan disebut juga Kota Raya.
c)      Kota besar,yaitu kota yang jumlah penduduknya antara 500.000 -1 juta orang.
d)     Kota sedang, yaitu kota yang jumlah penduduknya antara 100.000 - 500.000 orang.
e)      Kota kecil, yaitu kota yang jumlah penduduknya antara 20.000 - 100.000 orang.

2. Berdasarkan peranan dan fungsi pelayanan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, kota diklasifikasikan menjadi berikut ini.
a)        Kota yang berfungsi sebagai pusat kegiatan nasional adalah kota atau daerah perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan nasional.Kota tersebut merupakan tempat keluar masuknya arus barang dan jasa, produksi dan distribusi, transportasi untuk mencapai beberapa kawasan provinsi. Contoh kota yang berfungsi sebagai pusat kegiatan kota adalah kota metropolitan.
b)        Kota yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah adalah kota atau daerah perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa kawasan kabupaten; merupakan pusat pelayanan beberapa kawasan kabupaten; merupakan pusat pelayanan jasa, produksi dan distribusi, transportasi antarkawasan kabupaten. Contoh kota yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah adalah kota besar.
c)        Kota yang berfungsi sebagai pusat kegiatan lokaladalah kota atau daerah perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa kawasan dalam kabupaten. Contoh kota yang berfungsi sebagai pusat kegiatan lokal adalah kota sedang dan kota kecil.
d)       Kota yang mempunyai fungsi khusus adalah kota atau daerah per-kotaan yang mempunyai tugas pelayanan khusus dalam menunjang pengembangan sektor strategis, sektor ekonomis tertentu, menunjang pengembangan wilayah baru, dan berfungsi sebagai daerah penyangga pertumbuhan pusat kegiatan yang sudah ada.

3. Berdasarkan Jumlah Penduduknya
Dibedakan menjadi 5 kelompok, yaitu :
a.              Kota Kecamatan         : 3.000 – 20.000 penduduk
b.              Kota Kecil                   : 20.000 – 200.000 penduduk
c.              Kota Sedang   : 200.000 – 500.000 penduduk
d.             Kota Besar                  : 500.000 – 1.000.000 penduduk
e.              Kota Metropolitan       : > 1.000.000 penduduk

3.1.4 Perkembangan Kota
1. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kota
1)      Faktor Alam
Faktor alam relatif statis karena segala bentuk perubahan yang terjadi berlangsung dalam waktu yang relatif lama
2)      Faktor Kependudukan
Faktor kependudukan sangat dinamis terutama apabila ditinjau dari kuantitasnya, yaitu pertambahan penduduk alami dan urbanisasi
3)      Faktor Budaya
Faktor budaya yaitu tingkat kepandaian manusia dalam mengelola lingkungan kehidupannya (tingkat penguasaan teknologi)
2. Tahap Perkembangan Kota
Menurut Lewis Munford :
1)      Tahap Eopolis
tercermin adanya perkampungan yang makin maju dan mengarah ke kota
2)      Tahap Polis
kota yang masih berorientasi agraris meskipun muncul beberapa kegiatan industri
3)      Tahap Metroplis
kota yang berorientasi industri
4)      Tahap Megalopolis
ditandai oleh perubahan perilaku manusia hanya berorientasi pada materi
5)      Tahap Tiranopolis
tolak ukur budaya dilihat pada sesuatu yang nampak saja, misalnya kekayaan, serta ketidakacuhan mengenai aspek kehidupan. Selain itu, kondisi perdagangan mulai menunjukkan adanya penurunan dan tingkat kemacetan lalu lintas dan kriminalitas sangat tinggi
6)      Tahap Nekropolis
kota mati (the city of dead) dan menuju kehancuran. Hal ini disebabkan adanya peperangan, kelaparan, atau wabah yang melanda kota tersebut.

3.1.5 Geografi Kota
Geografi kota adalah cabang dari ilmu geografi yang mempelajari tentang tata ruang, struktur, perkembangan, pola-pola kota, interaksi atau hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan yang ada di kota, serta solusi permasalahannya.
Menurut Paul L. Knox (2000: 1113) para ahli geografi perkotaan menggunakan berbagai macam pendekatan:
1.              Pendekatan deskriptif langsung
2.              Pendekatan analisis kuantitatif
3.              Pendekatan post-strukturalis
4.              Pendekatan struktural


3.2 Perkotaan
3.2.1 Lokasi Pusat Kegiatan
Lokasi pusat kegiatan dapat digolongkan menjadi dua, sebagai berikut.
1.  Pusat kota (intikota), yaitu pusat kegiatan dari kota itu. Kegiatan-kegiatan tersebut, misalnya sebagai berikut:
a)      kegiatan ekonomi, yaitu dengan adanya pasar, toko, pusat-pusat perbelanjaan, dan sebagainya;
b)      kegiatan politik, yaitu dengan adanya gedung-gedung peme-rintahan, misalnya kantor DPR, kantor DPRD, gubernuran, dan sejenisnya dengan segala kegiatannya tentang pemerintahan;
c)      kegiatan kebudayaan, yaitu adanya gedung-gedung pertunjukan budaya dengan segala fasilitasnya;
d)     kegiatan pendidikan,yaitu sekolah dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi, maupun dalam segala macam kursus keterampilan;
e)      kegiatan hiburan dan rekreasi, tempat-tempat hiburan, misalnya bioskop dan taman-taman kota untuk rekreasi.

2. Selaput intikota, yaitu lokasi pusat kegiatan yang berada di pinggir (luar) intikota yang merupakan perluasan atau pemekaran kota. Selaput intikota terjadi karena di dalam kota itu, kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Selaput intikota meliputi suburban, suburban fringe, dan urban fringe.

3.2.2 Tata Ruang Kota
Penjelasan wilayah kekotaan adalah sebagai berikut.
1.      Urban, yaitu suatu area yang dicirikan dengan adanya penghidupan modern.
2.      Suburban, ialah suatu area dekat intikota yang mencakup dareah penglaju yang penduduknya bekerja di kota pada pagi hari dan sorenya kembali ke tempat tinggalnya.
3.      Suburban fringe, yaitu suatu daerah peralihan antara kota dan desa. Dalam rencana pengembangan kota, daerah ini biasanya akan diubah menjadi kompleks perhotelan dan jalan-jalan utama yang menghubungkan kota dengan daerah di luarnya.
4.      Urban fringe, yaitu daerah-daerah batas luar kota yang mempunyai sifat mirip kota.
5.      Rural urban fringe, yaitu daerah yang terletak antara kota dan desa dengan ciri adanya penggunaan tanah campuran. Misalnya, penggunaan tanah ada yang diusahakan untuk pertanian, di samping itu ada pabrik.
6.      Rural(daerah pedesaan), yaitu suatu daerah yang memiliki suasana kehidupan desa, yaitu kehidupan yang bersifat agraris.

3.2.3 Teori Struktur Tata Kota
Teori struktur tata kota juga ddisebut sebagai pola keruangan kota
1.        Teori Konsentris
Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District(CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).


Zona P :  Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bankmuseumhotel,restoran dan sebagainya.
Zona 1 :  Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonomi. Daerah ini sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini dihuni penduduk miskin. Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona pengembangan industri sekaligus menghubungkan antara pusat kota dengan daerah di luarnya.
Zona 2 : Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini yaitu working men's homes.
Zona 3 :  Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
Zona 4 : Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elit, perumahan dan halaman yang luas. Sebagian penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
Zona 5 :  Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran.

2.        Teori Sektoral (Hoyt,1939)
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.

Zona P :  Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
Zona 1: Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
Zona 2: Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
Zona 3: Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
Zona 4: Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.

3.        Teori Inti Berganda (Harris dan Ullman,1945) 
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing, distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain. Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.


1. Pusat kota atau Central Business District (CBD).
2. Kawasan niaga dan industri ringan.
3. Kawasan murbawisma atau permukiman kaum buruh.
4. Kawasan madyawisma atau permukiman kaum pekerja menengah.
5. Kawasan adiwisma atau permukiman kaum kaya.
6. Pusat industri berat.
7. Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota, untuk kawasan mudyawisma dan adiwisma.
9. Upakota (sub-urban) kawasan industri

Teori lainnya yang mendasari struktur ruang kota adalah Teori Ketinggian Bangunan; Teori Konsektoral; dan Teori Historis. Dikaitkan dengan perkembangan DPK atau CBD, maka berikut ini adalah penjelasan masing-masing teori mengenai pandangannya terhadap DPK atau CBD:
1.      Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955)
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.
2.      Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980).
Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut. Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.
3.      Teori Historis (Alonso, 1964)
DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi.
4.      Teori struktural
Teori ini ditekankan pada mobilitas tempat tinggal yang dikaitkan dengan “taster, preference dan life styles” pada sesuatu kota, seperti halnya pendekatan historis di atas, maka dalam teori struktural ini, Alonso menggunakan pembagian zona yang konsentris dari burgess untuk menjelaskan “spatial distribution-residential mobility.



3.2.4 Pemanfaatan Lahan di Daerah Perkotaan
Di daerah perkotaan, pemanfaatan lahan lebih bervariasi dibandingkan dengan daerahpedesaan karena secara umum kehidupan masyarakat kota sudah lebih kompleks. Berdasarkan ciri fisik maupun sosialnya, pola penggunaan lahan di kota sangat berbeda dengan pemanfaatan lahan di desa. Dalam pemanfaatannya, selain harus memperhatikan unsur fisik lahan juga harus diperhatikan fungsi kota yang bersangkutan. Contohnya, sebagai pusat industri, pusat pendidikan, atau mungkin pusat pemerintahan.
Terdapat beberapa karakteristik daerah perkotaan yang membedakannya dengandaerah pedesaan dan berpengaruh terhadap pola pemanfaatan lahannya. Adapun karakteristik tersebut sebagai berikut.
a.    Lingkungan sosial budaya yang heterogen.
b.    Hubungan sosial budaya yang dibangun oleh kesamaan kepentingan.
c.    Terdapat sekat-sekat antarkelompok, seperti yang elite dengan nonelite.
d.   Pertimbangan untuk rugi menjadi dasar tindakan.
e.    Tingkat intelektual yang relatif lebih mapan sehingga pandangan hidupnya lebih rasional.
f.     Kompleksitas kebutuhan dan tingginya dinamika interaksi sosial yang terjadi.
Secara umum pemanfaatan lahan di kota banyak digunakan untuk :
a.    Pusat pemerintahan, yaitu gedung-gedung pemerintahan yang berfungsi sebagai pusat
b.    Pelayan umum kepada masyarakat;
b.    Tempat-tempat pusat industri dan perdagangan seperti pasar dan pertokoan;
c.    Pusat-pusat sarana pendidikan;
d.   Kompleks-kompleks permukiman penduduk;
e.    Sarana olahraga dan rekreasi;
f.     Gedung-gedung perkantoran.

Pola penggunaan lahan di perkotaan cenderung lebih heterogen. Ciri dan pendorong adanya heterogenitas  masyarakat di perkotaan antara lain sebagai berikut.
1.         Budaya yang berkembang bersifat individualisme.
2.         Kehidupan masyarakat bersifat multietnis.
3.         Kegiatan perekonomian heterogen dan didominasi sektor nonagraris.
4.         Tingginya nilai jual dan harga tanah di perkotaan.
5.         Munculnya kontak sosial di masyarakat.
6.         Pola permukiman cenderung padat dan kompleks.

Pola Permukiman
Pola permukiman merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan di muka bumi. Pernahkah kamu secara tidak sengaja mengamati bentuk rumah, pola wilayah hunian (permukiman), baik di daerah perdesaan maupun perkotaan? Pemukiman memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan masyarakat. Kondisi fisik dan bentukan muka bumi akan ber-pengaruh terhadap penggunaan lahan dan permukiman.  Pola permukiman penduduk yang sering dijumpai di lingkungan sekitar, antara lain sebagai berikut.
a.    Pola permukiman memanjang (linier)
Penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh ragam bentukan muka bumi. Pola permukiman memanjang  (linear) terkait erat dengan jaringan sarana transportasi  wilayah. Areal permukiman penduduk umumnya menempati kawasan sepanjang jalan raya, aliran sungai, atau tepi pesisir pantai
b.    Pola permukiman terpusat (Nucleated)
Pola permukiman lain yang dapat ditemukan di lingkungan sekitar, yaitu pola permukiman terpusat yang banyak ditemukan di daerah sekitar perbukitan atau pegunungan. Kondisi dan keadaan wilayah mengakibatkan terbentuknya pola permukiman yang mengelompok. Pada umumnya lahan pertanian terletak jauh dari kawasan pemukiman. Pemekaran areal permukiman terjadi dan mengarah ke segala jurusan sesuai dengan komposisi dan pertambahan jumlah penduduk.
c. Pola Permukiman tersebar (dispered)
Pola permukiman tersebar dicirikan dengan letak dan kondisi permukiman yang terpencar-pencar antara satu wilayah permukiman dan permukiman lainnya. Pola permukiman tersebar sering dijumpai pada kawasan permukiman dengan kondisi iklim yang tidak stabil, serta topografinya yang terjal dan curam.

3.3 Perencanaan dan Peremajaan Kota
3.3.1 Perencanaan Kota
Perencanaan merupakan salah satu proses lain, atau merubah suatu keadaan untuk mencapai maksud yang dituju oleh perencanaan atau oleh orang/badan yang di wakili oleh perencanaan itu. Perencanaan itu meliputi : Analisis, kebijakan dan rancangan. Ciri-ciri pokok dari perencanaan umum mencakup serangkaian tindakan berurutan yang ditujukan pada pemecahan persoalan-persoalan di masa datang dan semua perencanaan mencakup suatu proses yang berurutan yang dapat di wujudkan sebagai konsep dalam sejumlah tahapan.
Perencanaan kota merupakan proses penyusunan rencana tata ruang kota, yang didalamnya terkandung arahan penataan ruang kota. Pada mulanya, kegiatan perencanaan dilakukan oleh orang-orang “pilihan” yang dianggap mampu menerjemahkan visi dan keinginan manusia akan tata ruang yang lebih baik, atau mereka yang sangat berduit untuk merealisasikan cita-cita mereka mengenai masyarakat yang dianggap ideal

Tahapan yang dilalui dalam perencanaan antara lain :
1. identifikasi Persoalan
2. perumusan tujuan umum dan sasaran khusus hingga target-target yang kuantitatif
3. proyeksi keadaan di masa akan datang
4. pencarian dan penilaian berbagai alternatif
5. penyusunan rencana terpilih

Syarat-Syarat perencanaan yang baik :
  1. Logis, masuk akal;
  2. Realistik, nyata;
  3. Sederhana;
  4. Sistematik dan ilmiah;
  5. Obyektif;
  6. Fleksibel;
  7. Manfaat;
  8. Optimasi dan efisiensi.
Syarat-syarat perencanaan disusun karena adanya hal-hal beikut :
a.       Limitasi dan kendala;
  1. Motivasi dan dinamika;
  2. Kepentingan bersama;
  3. Norma-norma tertentu.
 Faktor-faktor dasar perencanaan antara lain:
  1. Sumber daya (alam, manusia, modal, teknologi);
  2. Idiologi dan falsafah;
  3. Sasaran dari tujuan pembangunan;
  4. Dasar Kebijakan;
  5. Data dan metode;
  6. Kondisi lingkungan, sosial, politik dan budaya.

3.3.2 Teori Lokasi
Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegitan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang langka, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial.
Teori lokasi merupakan teori dasar yang sangat penting dalam analisa spasial dimana tata ruang dan lokasi kegiatan ekonomi merupakan unsur utama. Berikut ini ada beberapa pengertian teori lokasi menurut para ahli yaitu sebagai berikut:
1.        Hoover dan Giarratan (2007)
Teori lokasi merupakan ilmu yang menyelidiki tata ruang kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti:
a)bahan baku lokal (local input).
b)     permintaan lokal (local demand).
c)bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input).
d)    permintaan luar (outside demand).

2.        Von Thunen (1826)
Teori ini mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota.

3.        Weber (1909)
Menurut Teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi.

4.        Teori Christaller (1933)
Menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah.

5.        August Losch
Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.

6.        D.M. Smith
memperkenalkan teori lokasi memaksimumkan laba dengan menjelaskan konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang terkait dengan lokasi.

7.        McGrone (1969)
Berpendapat bahwa teori lokasi bertujuan memaksimumkan keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidakpastian yang tinggi dan dalam analisis dinamik.  Ketidaksempurnaan pengetahuan dan ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model maksimisasi keuntungan lokasi sulit dioperasikan.

8.        Menurut Isard (1956)
Masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang berbeda-beda

3.3.2 Peremajaan Kota
Peremajaan kota merupakan suatu konsep dan strategi pembangunan kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan mengantisipasi proses ekologi perubahan keruangan. Perkembangan dan pertumbuhan penduduk disertai berkembangnya kegiatan usaha yang akan mempunyai akibat pada perubahan sosial, ekonomi dan fisik yang kemudian menuntut kebutuhan ruang. Usaha untuk menanggapi perkembangan dan pertumbuhan ini biasanyan ditempuh dengan 3 cara :
  1. Intensifikasi, seperti peremajaan kota (urban redevelopment) dan pembaharuan kota (urban renewal)
  2. Ekstensifikasi, seperti perluasan wilayah kota dan reklamasi
  3. Kota Baru

1.      Pengertian dan Esensi Peremajaan Kota
  • Usaha meremajakan suatu bagian wilayah kota atau kawasan fungsional kota sebagai salah satu rangkaian pembangunan kota. Wilayah atau kawasan yang diremajakan dilihat sebagai sub sistem kota secara keseluruhan;
  • Peremajaan kota terbatas lingkupnya pada usaha peningkatan kualitas dan vitalitas lingkungan fisik sedangkan pembaharuan kota menyangkut upaya menata kembali berbagi segi kehidupan kota;
  • Karena wilayah yang diremajakan dilihat sebagai sub sistem kota, maka peremajaan kota merupakan bagian integral dari suatu rencana pembangunan kota;
  • Muatan yang terkandung dari program peremajaan kota harus sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan kota secara keseluruhan;
  • Sebagai suatu cara, peremajaan kota dapat ditinjau dari 3 pengertian :
1.      Sebagai suatu proses, diartikan sebagai pembangunan kembali bagian wilayah kota dengan maksud untuk meningkatkan kualitas, kegunaan, kemanfaatan, kapasitas dan vitalitasnya;
2.      Sebagai suatu fungsi, diartikan sebagai kegiatan untuk menguasai, menata, merehabilitas atau membangun kembali suatu bagian wilayah kota yang mengalami degradasi untuk menampung kegiatan-kegiatan yang konsisten dengan rencana kota yang telah ada;
3.      Sebagai suatu program, diartikan sebagai bagian dari suatu kegiatan pelaksanaan pembangunan kota yang terkoordinir dan terorganisir;
  • Esensi peremajaan kota :
    • Meningkatkan vitalitas;
    • Peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana;
    • Menjaga agar kekumuhan tidak meluas;
    • Memberikan kepastian hukum;
    • Menyatukan kedalam sistem perekonomian kota tanpa diwarnai ketimpangan yang mencolok;



2.        Tipologi Peremajaan Kota
  1. Rehabilitasi
Pada umumnya merupakan perbaikan kembali fungsi kawasan dengan pembangunan sarana dan prasarana. Contoh : perbaikan kampung, perbaikan lingkungan, perbaikan pusat perbelanjaan.
  1. Renovasi
Umumnya hanya terbatas pada peningkatan struktur dan kualitas fisik dengan tampilan bangunan yang tetap. Contoh : perbaikan bangunan-bangunan bersejarah.
  1. Preservasi
 Upaya pelestarian struktur yang telah ada dengan cara memelihara dan mengamankan. Contoh : pelestarian bangunan atau kawasan yang bernilai sejarah.
  1. Konservasi
Upaya perlindungan dari kemungkinan kerusakan oleh alam maupun manusia. Pada konservasi dimunkinkan untuk menghilangkan atau menambah struktur demi menjaga keamanan dan kelestarian. Contoh : pengamanan tebing dalam kota, normalisasi DAS, penghutanan kota.
  1. Gentrifikasi
Peningkatan fungsi sebagai kompensasi atau pengganti bagi suatu bagian wilayah kota yang telah mengalami degradasi. Contoh : pembangunan rumah susun;

3.        Prinisp - Prinsip Peremajaan Kota
Prinsip-prinsip peremajaan kota antara lain :
a.       Sebagai bagian pembanguna kota yang menyeluruh;
b.      Peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik;
c.       Terprogram secara sistematis;
d.      Peningkatan produktivitas dalam menunjang ekonomi kota;
e.       Peningkatan nilai visual tatanan kota;
f.       Memacu pemerataan dalam kehidupan kota bagi semua lapisan.

4.    Produk Perencanaan untuk Peremajaan Kota
  1. Rencana Fisik; rencana tata letak peruntukan dan tata letak bangunan dan non bangunan, serta lansekap
  2. Rencana pembiayaan; Dirinci pembiayaan setiap tahap pelaksanaan pembangunan, sumber pembiayaan, estimasi investasi, pendapatan dan tingkat inflasi, masalah pembebasan dan penggantian lahan
  3. Rencana Relokasi; Relokasi penduduk maupun kegiatan, tempat relokasi dan pelaksanaan relokasi (permanen atau temporer)
  4. Rencana Pelaksanaan; Tahapan - tahapan pelaksanaan kegiatan

5.        Masalah-Masalah Peremajaan Kota di Indonesia
Ada 2 jenis peremajaan kota yang umum dilakukan :
  1. Program perbaikan kampung
  2. Peremajaan pusat kota, khususnya pusat perdagangan
Beberapa masalah yang terdeteksi :
  1. Kurang menimbang dampak dan konsekuensinya terhadap lingkungan sekitar
  2. Dilaksanakan sebagai suatu usaha pemecahan masalah negara
  3. Banyak masalah sosial yang timbul setelah proyek peremajaan
  4. Kurang ditunjang dengan perencanaan prasarana yang menyeluruh


0 komentar: