Kamis, 17 April 2014

Berdasarkan  :
Judul Buku                          : Tuanku Imam Bonjol
Pengarang                           :Drs. Mardjani Martamin
Tahun Terbit                        :1986
Penerbit                              :Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kota Terbit                         :Jakarta
Jumlah Halaman                  :124 halaman
Pada abad ke-16 dan ke-17 terjadi benturan antara agama islam dan adat Minangkabau. Hal ini membuat kondisi Miangkabau pada abad ke-18 kehilangan pedomannya yaitu ajaran islam. Ajaran islam hanya terbatas pada dinding masjid bagian dalam. Sedangkan diluar masjid banyak berkeliaran kehidupan yang berbau maksiat, kemerosotan moral dan sebagainya.
Pembaharuan terhadap kehidupan masyarakat Minangkabau yang telah berkelimang kemaksiatan itu, mula-mula timbul dari ulama-ulama agama Islam yang sadar akan tugas dan kewajibannya pada abad ke 18. Di antara tokoh pembaharuan yang terkenal adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau adalah murid Nan Tuo yang cerdas dan pintar. Beliau menggunakan jalan keras bahkan perang untuk memperbaiki keadaan itu dengan cepat.
Sumber sejarah mengenai Tuanku Imam Bonjol pada umumnya adalah dati tambo, keterangan tentang keluarga Tuanku Imam Bonjol yang masih ada sekarang dan keterangan dari para penulis Belanda. Dikisahkan pada suatu tempat yang tidak diketahui namanya di Minangkabau, datanglah dua orang dari Maroko bernama Syekh Usman dan Hamatun. Hamatun menikah dengan seorang guru agama bernama Khatib Rajamuddin dan memiliki 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki bernama Muhammad Syahab yang sekarang lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.
Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Tuanku Imam Bonjol terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Artinya tidak mengalir darah bangsawan atau keturunan raja dalam dirinya. Beliau juga dibesarkan dalam lingkungan yang biasa pula.
Ayah Tuanku Imam Bonjol, Khatib Rajamuddin adalah seorang guru agama yang taat menjalankan ibadah agama islam. Hal itu mengakibatkan Tuanku Imam Bonjol memiliki pandangan yang sangat teguh terhadap ajarang islam. Sebagai pemimpin beliau memiliki pendirian yang teguh, tegas dan tidak mudah berubah.
Khatib Rajamuddin meninggal pada tahun 1799, saat Tuanku Imam Bonjol berusia 7 tahun. Pendidikan Tuanku Imam Bonjol dilanjutkan oleh neneknya bernama Tuanku Bandaharo. Nama Muhammad Syahab (Tuanku Imam Bonjol) ditukar menjadi Peto Syarif. Karena kecerdasan dan kecakapannya, Peto Syarif dapat menyelesaikan pendidikannya bersama Tuanku Bandaharo dengan cepat. Beliau yang masih haus akan ilmu islam pergi berkeliling untuk mencari ilmu islam.
Tahun 1800 Peto Syarif telah tamat belajar dengan hasil yang sangat memuaskan dan mendapat gelar Malin Basa yang berarti Mualim Besar. Dalam hal ini Malin Basa adalah seseorang yang sangat mengetahui secara mendalam tentang seluk beluk masalah, terutama tentang Islam. Pada saat itu, beliau yang masih belum puas dengan ilmunya, memutuskan untuk pergi ke Aceh. Walaupun perjalanannya yang sulit dan memiliki banyak halangan dan sangat meletihkan, itu masih belum berarti apa-apa pada dirinya. Beliau beranggapan bahwa untuk mencapai dan menempuh sesuatu hasil yang besar harus dengan pengorbanan yang besar pula.
Tahun 1802, karena desakan dari keluarga, Malin Basa menikah dengan seorang gadis di desanya, di Aceh. Beliau menetap di desa tersebut dan memberikan pengajaran mengenai islam pada orang-orang di kampung tersebut. Beliau memiliki cita-cita yang murni yaitu untuk membersihkan praktek islam dan mencerdaskan rakyat.
Pada tahun 1803 gerakan Paderi dimulai.  Malin Basa dan keluarganya  pergi ke Kamang, Minangkabau. Di sana, beliau memiliki guru bernama Tuanku Nan Tuo yang menitik beratkan ilmunya pada perang. Malin Basa menjadi murid kepercayaan Tuanku Nan Tuo. Bahkan beliau diperintah untuk mendirikan benteng di Batusangkar dan mendapat ilmu militer lebih lanjut dari Haji Piobang pada tahun 1805. Malin Basa juga berpengaruh pada gerakan Paderi yang dicetuskan oleh Tuanku Nan Tuo. Gerakan Kaum Paderi sebelum partisipasi aktif Tuanku Imam Bonjol berpusat di Kemang. Gerakan ini bertempur dengan penghulu dan anak buahnya di Bukit Betabuh, dan akhirnya kemenangan diperoleh oleh kaum Paderi. Setelah Kemang, Luhak Agam pun berhasil dikuasai kaum Paderi.
Malin Basa kembali ke Alahan Panjang (tempat asal) dan mengembangkan ajaran islam di sana. Beliau mendapat bantuan besar dari Datuk Bandaharo. Namun, itu tidak berjalan lama karena Datuk Bandaharo meninggal. Sesuai kesepakatan rakyat, maka terpilihlah 4 orang untuk menggantikan Datuk Bandaharo menjalankan tugasnya. Mereka adalah Tuanku Mudo, Tuanku Hitam, Tuanku Gapuk, dan Tuanku Kalnat. Sejak saat itu nama Malin Basa bertukar dengan Tuanku Mudo yang dipilih rakyat karena kepintaran, kejujuran, kealiman, dan berpengetahuan tinggi tentang islam. Tuanku Mudo dipilih menjadi kepala pemerintahan dan mulai membangun Alahan Panjang.
Tuanku Mudo memulai mencari lahan yang strategis untuk membangun benteng pertahanan. Akhirnya, pilihan Tuanku Mudo jatuh pada tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki sebuah bukit bernama Bukit Tajadi. Tempat itu sesuai dengan pesan Tuanku Nan Renceh yang menghendaki agar benteng itu didirikan di kaki bukit. Setelah pembangunan benteng selesai, rakyat menamai benteng itu dengan nama Bonjol.
Tuanku Mudo ditunjuk sebagai kepala dari benteng itu dan semenjak itu Tuanku Mudo dipanggil orang dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Sebelum Tuanku Nan Renceh meninggal dunia, beliau telah menunjuk Tuanku Imam Bonjol sebagai penggantinya menjadi pemegang pimpinan tertinggi Kaum Paderi.. Sebelum tahun 1820 kaum Paderi hanya memerangi orang-orang Minangkabau sendiri atau bangsa sendiri dalam menyebarluaskan pemurnian pengajaran agama yang mereka anut.
Belanda berkuasa di Padang tahun 1819. Politik Belanda diarahkan ke daerah pedalaman Minangkabau.Ada dua tujuan yang hendak dicapai Belanda dengan mengarahkan politiknya ke daerah pedalaman Minangkabau. Pertama, untuk melemahkan posisis Inggris dalam bidang ekonomi. Kedua, untuk mencegah meluasnya pengaruh kaum Paderi ke daerah pesisir.
Pada tahun 1821 Belanda menyerang dan berhasil menguasai Simawang. Dengan terjadinya perang ini maka, berubahlah sifat kaum Paderi. Sekarang mereka bukan lagi berhadapan dengan sesama orang Minangkabau, tetapi sudah berhadapan dengan pasukan Belanda. Kaum Paderi mulai berperang mempertahankan kemerdekaan dari serangan tentara kolonial Belanda yang ingin menguasai Minangkabau. Walaupun kalah dalam pengalaman perang modern dan persenjataan, kaum Paderi menang dalam satu hal yaitu semangat bertempur.
Akhir tahun 1822 kaum Paderi di bawah komando Tuanku Imam Bonjol melakukan serangan serentak terhadap Belanda. Dalam serangan itu Belanda yang mendapat bantuan pasukan dari Jawa dapat dipukul mundur oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol. Belanda yang kesal dengan kekalahannya mengubah taktiknya untuk melawan Imam Bonjol.  Sikap Tuanku Imam Bonjol yang lebih suka damai daripada perang dipergunakann oleh Belanda untuk menyelenggarakan perundingan dengan Tuanku Imam Bonjol. Pada Tanggal 22 Januari 1824 ditandatangani perjanjian antara Tuanku Imam Bonjol dengan Belanda. Perjanjian itu dinamakan Perjanjian Masang. Isi perjanjian itu antara lain bahwa kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.
Namun sebulan setelah Perjanjian Masang, Belanda kembali memulai gerakan militernya kembali. Dengan terpaksa Tuanku Imam Bonjol mengangkat senjata untuk mempertahankan wilayah. Karena serangan dadakan,Belanda dapat menduduki daerah pusat Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Belanda sebenarnya khawatir apabila kaum Paderi kemudian melakukan serangan balasan. Sebenarnya waktu itu sudah merupakan kekuatan terakhir Belanda di Minangkabau karena bantuan pasukan tidak kunjung datang dari Batavia. Karena pada waktu yang bersamaan di Jawa sedang terjadi peperangan besar antara Belanda dengan Pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, setelah menguasai dua daerah tersebut Belanda tidak melakukan penyerangan lagi dan suasana dengan sengaja dibuat tenang. Keadaan itu sangat dirahasiakan oleh Belanda.
Setelah peperangan Belanda dengan Pangeran Diponegoro selesai Belanda mengirim pasukan dan memusatkan perhatiannya di Minangkabau. Tahun 1831 pertahanan kaum Paderi mulai diserang oleh Belanda secara serentak. Banyak wilayah yang berhasil dikuasai oleh Belanda. Keadaan Tuanku Imam Bonjol pada akhir tahun 1832 sangat terjepit. Belanda sudah menguasai seluruh Minangkabau. Bonjol sudah dikepung dari segala arah. Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya mati-matian bertahan di dalam benteng Bonjol yang kuat itu.  
Pengepungan Benteng Tuanku Imam Bonjol berlangsung selama 7 bulan. Hingga akhirnya Belanda mengirim surat perdamaian, tapi Tuanku Imam Bonjol membalasnya dengan sebuah perundingan yang bersyarat. Karena dianggab merugikan pihak Belanda, perundingan tidak disetujui oleh Jendral Mayor Cleerens, maka terjadilah perang besar-besaran pada tanggal 3 Desember 1836. Walaupun Belanda menggunakan Meriam-meriam besarnya, tetap saja Benteng Tuanku Imam Bonjol tidak dapat ditembus.
Karena sulit menaklukan Benteng Tuanku Imam Bonjol, samppai-sampai Belanda harus mengirim Panglima Militer Hindia Belanda yaitu Mayor Jendral Coclius, prajurit dan peralatan didatangkan ke Minangkabau. Pada tanggal 18 Agustus 1837 akhirnya Benteng jatuh ke tangan Belanda tapi Tuanku Imam Bonjol dapat melarikan diri bersama keluarganya dan pengikut-pengikut setianya.
Beliau melarikan diri ke Merapak, Belanda terus mengejar Tuanku Imam Bonjol, sehingga terjadilah aksi kejar buntut yang mengakibatkan Tuanku Imam Bonjol harus berpindah-pindah mencari tempat persembunyian yang baru. Hingga suatu saat surat datang dari Belanda kepada Tuanku Imam Bonjol, untuk berunding di Pelupuh, karena keaadan beliau memutusakan untuk bersedian menghadiri perundingan. Ternyata beliau ditipu lalu ditangkap pada tanggal 28 Oktober 1837.
Tuanku Imam Bonjol dipenjarakan di Bukittinggi, lalu dipindah ke penjara di Padang. Kemudian di asingkan ke Cianjur di Keresidenan Periangan. Di Periangan beliau sempat menjadi Guru Agama. Pada akhir tahun 1838 beliau diasingkan ke Ambon. 19 Januari 1939 diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara . Hingga akhirnya pada 8 November  1864 beliau meninggal dengan damai setelah mengalami masa pengasingan selama 27 tahun, beliau dimakamkan di Lutak, Minahasa. Tuanku Imam Bonjol merupakan Pahlawan Nasional Republik Indonesia dan tentunya pemimpin yang tak terkalahkan dari Minangkabau.

Kelebihan tokoh Tuanku Imam Bonjol
1.       Pintar
2.       Cinta damai
3.       Tak pernah puas dengan Ilmu yang didapatkan
4.       Dapat dipercaya
5.       Pantang menyerah
6.       Rela Berkorban
7.       Berpengetahuan tinggi tentang Islam
8.       Jujur
9.       Alim
Kekurangan tokoh Tuanku Imam bonjol
1.       Mudah percaya dengan omongan Belanda
Keteladanan Tuanku Imam Bonjol
  1. Terus menerus dalam mencari ilmu
  2. Pantang menyerah meskipun banyak halangan.
  3. Amanah
Sisi Menarik
Sosok pemimpin yang adil, bijaksana, dan bertanggungjawab. Dibuktikan ketika dia menjadi pimpinan kaum Paderi dia dapat menyatukan seluruh rakyat paderi untuk melawan Belanda tanpa ada rasa takut.  
  

0 komentar: