Berdasarkan :
Judul Buku : Tuanku Imam Bonjol
Pengarang :Drs. Mardjani Martamin
Tahun Terbit :1986
Penerbit :Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Kota Terbit :Jakarta
Jumlah Halaman :124
halaman
Pada abad ke-16 dan ke-17 terjadi
benturan antara agama islam dan adat Minangkabau. Hal ini membuat kondisi
Miangkabau pada abad ke-18 kehilangan pedomannya yaitu ajaran islam. Ajaran
islam hanya terbatas pada dinding masjid bagian dalam. Sedangkan diluar masjid
banyak berkeliaran kehidupan yang berbau maksiat, kemerosotan moral dan
sebagainya.
Pembaharuan terhadap kehidupan
masyarakat Minangkabau yang telah berkelimang kemaksiatan itu, mula-mula timbul
dari ulama-ulama agama Islam yang sadar akan tugas dan kewajibannya pada abad
ke 18. Di antara tokoh pembaharuan yang terkenal adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau adalah murid Nan Tuo yang
cerdas dan pintar. Beliau menggunakan jalan keras bahkan perang untuk
memperbaiki keadaan itu dengan cepat.
Sumber sejarah mengenai Tuanku Imam
Bonjol pada umumnya adalah dati tambo, keterangan tentang keluarga Tuanku Imam
Bonjol yang masih ada sekarang dan keterangan dari para penulis Belanda.
Dikisahkan pada suatu tempat yang tidak diketahui namanya di Minangkabau,
datanglah dua orang dari Maroko bernama Syekh Usman dan Hamatun. Hamatun
menikah dengan seorang guru agama bernama Khatib Rajamuddin dan memiliki 3 anak
perempuan dan 1 anak laki-laki bernama Muhammad Syahab yang sekarang lebih
dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.
Dari keterangan tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa Tuanku Imam Bonjol terlahir dari keluarga yang biasa-biasa
saja. Artinya tidak mengalir darah bangsawan atau keturunan raja dalam dirinya.
Beliau juga dibesarkan dalam lingkungan yang biasa pula.
Ayah Tuanku Imam Bonjol, Khatib Rajamuddin
adalah seorang guru agama yang taat menjalankan ibadah agama islam. Hal itu
mengakibatkan Tuanku Imam Bonjol memiliki pandangan yang sangat teguh terhadap
ajarang islam. Sebagai pemimpin beliau memiliki pendirian yang teguh, tegas dan
tidak mudah berubah.
Khatib Rajamuddin meninggal pada tahun
1799, saat Tuanku Imam Bonjol berusia 7 tahun. Pendidikan Tuanku Imam Bonjol
dilanjutkan oleh neneknya bernama Tuanku Bandaharo. Nama Muhammad Syahab
(Tuanku Imam Bonjol) ditukar menjadi Peto Syarif. Karena kecerdasan dan
kecakapannya, Peto Syarif dapat menyelesaikan pendidikannya bersama Tuanku
Bandaharo dengan cepat. Beliau yang masih haus akan ilmu islam pergi
berkeliling untuk mencari ilmu islam.
Tahun 1800 Peto Syarif telah tamat
belajar dengan hasil yang sangat memuaskan dan mendapat gelar Malin Basa yang
berarti Mualim Besar. Dalam hal ini Malin Basa adalah seseorang yang sangat
mengetahui secara mendalam tentang seluk beluk masalah, terutama tentang Islam.
Pada saat itu, beliau yang masih belum puas dengan ilmunya, memutuskan untuk
pergi ke Aceh. Walaupun perjalanannya yang sulit dan memiliki banyak halangan
dan sangat meletihkan, itu masih belum berarti apa-apa pada dirinya. Beliau
beranggapan bahwa untuk mencapai dan menempuh sesuatu hasil yang besar harus
dengan pengorbanan yang besar pula.
Tahun 1802, karena desakan dari
keluarga, Malin Basa menikah dengan seorang gadis di desanya, di Aceh. Beliau
menetap di desa tersebut dan memberikan pengajaran mengenai islam pada
orang-orang di kampung tersebut. Beliau memiliki cita-cita yang murni yaitu
untuk membersihkan praktek islam dan mencerdaskan rakyat.
Pada tahun 1803 gerakan Paderi
dimulai. Malin Basa dan keluarganya pergi ke Kamang, Minangkabau. Di sana, beliau
memiliki guru bernama Tuanku Nan Tuo yang menitik beratkan ilmunya pada perang.
Malin Basa menjadi murid kepercayaan Tuanku Nan Tuo. Bahkan beliau diperintah
untuk mendirikan benteng di Batusangkar dan mendapat ilmu militer lebih lanjut
dari Haji Piobang pada tahun 1805. Malin Basa juga berpengaruh pada gerakan
Paderi yang dicetuskan oleh Tuanku Nan Tuo. Gerakan Kaum Paderi sebelum
partisipasi aktif Tuanku Imam Bonjol berpusat di Kemang. Gerakan ini bertempur dengan penghulu dan anak
buahnya di Bukit Betabuh, dan akhirnya kemenangan diperoleh oleh kaum Paderi.
Setelah Kemang, Luhak Agam pun berhasil dikuasai kaum Paderi.
Malin Basa kembali ke Alahan Panjang
(tempat asal) dan mengembangkan ajaran islam di sana. Beliau mendapat bantuan
besar dari Datuk Bandaharo. Namun, itu tidak berjalan lama karena Datuk
Bandaharo meninggal. Sesuai kesepakatan rakyat, maka terpilihlah 4 orang untuk
menggantikan Datuk Bandaharo menjalankan tugasnya. Mereka adalah Tuanku Mudo,
Tuanku Hitam, Tuanku Gapuk, dan Tuanku Kalnat. Sejak saat itu nama Malin Basa
bertukar dengan Tuanku Mudo yang dipilih rakyat karena kepintaran, kejujuran,
kealiman, dan berpengetahuan tinggi tentang islam. Tuanku Mudo dipilih menjadi
kepala pemerintahan dan mulai membangun Alahan Panjang.
Tuanku Mudo
memulai mencari lahan yang strategis untuk membangun benteng pertahanan.
Akhirnya, pilihan Tuanku Mudo jatuh pada tempat di sebelah timur Alahan
Panjang, di kaki sebuah bukit bernama Bukit Tajadi. Tempat itu sesuai dengan
pesan Tuanku Nan Renceh yang menghendaki agar benteng itu didirikan di kaki
bukit. Setelah pembangunan benteng selesai, rakyat menamai benteng itu dengan
nama Bonjol.
Tuanku Mudo
ditunjuk sebagai kepala dari benteng itu dan semenjak itu Tuanku Mudo dipanggil
orang dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Sebelum Tuanku Nan Renceh meninggal
dunia, beliau telah menunjuk Tuanku Imam Bonjol sebagai penggantinya menjadi
pemegang pimpinan tertinggi Kaum Paderi.. Sebelum tahun 1820 kaum Paderi hanya
memerangi orang-orang Minangkabau sendiri atau bangsa sendiri dalam
menyebarluaskan pemurnian pengajaran agama yang mereka anut.
Belanda berkuasa
di Padang tahun 1819. Politik Belanda diarahkan ke daerah pedalaman
Minangkabau.Ada dua tujuan yang hendak dicapai Belanda dengan mengarahkan
politiknya ke daerah pedalaman Minangkabau. Pertama, untuk melemahkan posisis
Inggris dalam bidang ekonomi. Kedua, untuk mencegah meluasnya pengaruh kaum
Paderi ke daerah pesisir.
Pada tahun 1821
Belanda menyerang dan berhasil menguasai Simawang. Dengan terjadinya perang ini
maka, berubahlah sifat kaum Paderi. Sekarang mereka bukan lagi berhadapan
dengan sesama orang Minangkabau, tetapi sudah berhadapan dengan pasukan
Belanda. Kaum Paderi mulai berperang mempertahankan kemerdekaan dari serangan
tentara kolonial Belanda yang ingin menguasai Minangkabau. Walaupun kalah dalam
pengalaman perang modern dan persenjataan, kaum Paderi menang dalam satu hal
yaitu semangat bertempur.
Akhir tahun 1822
kaum Paderi di bawah komando Tuanku Imam Bonjol melakukan serangan serentak
terhadap Belanda. Dalam serangan itu Belanda yang mendapat bantuan pasukan dari
Jawa dapat dipukul mundur oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol. Belanda yang kesal
dengan kekalahannya mengubah taktiknya untuk melawan Imam Bonjol. Sikap Tuanku Imam Bonjol yang lebih suka
damai daripada perang dipergunakann oleh Belanda untuk menyelenggarakan
perundingan dengan Tuanku Imam Bonjol. Pada Tanggal 22 Januari 1824
ditandatangani perjanjian antara Tuanku Imam Bonjol dengan Belanda. Perjanjian
itu dinamakan Perjanjian Masang. Isi perjanjian itu antara lain bahwa kedua
belah pihak tidak akan saling menyerang.
Namun sebulan
setelah Perjanjian Masang, Belanda kembali memulai gerakan militernya kembali.
Dengan terpaksa Tuanku Imam Bonjol mengangkat senjata untuk mempertahankan wilayah.
Karena serangan dadakan,Belanda dapat menduduki daerah pusat Luhak Agam dan
Luhak Tanah Datar. Belanda sebenarnya khawatir apabila kaum Paderi kemudian
melakukan serangan balasan. Sebenarnya waktu itu sudah merupakan kekuatan
terakhir Belanda di Minangkabau karena bantuan pasukan tidak kunjung datang
dari Batavia. Karena pada waktu yang bersamaan di Jawa sedang terjadi
peperangan besar antara Belanda dengan Pasukan Diponegoro. Oleh karena itu,
setelah menguasai dua daerah tersebut Belanda tidak melakukan penyerangan lagi
dan suasana dengan sengaja dibuat tenang. Keadaan itu sangat dirahasiakan oleh
Belanda.
Setelah
peperangan Belanda dengan Pangeran Diponegoro selesai Belanda mengirim pasukan
dan memusatkan perhatiannya di Minangkabau. Tahun 1831 pertahanan kaum Paderi
mulai diserang oleh Belanda secara serentak. Banyak wilayah yang berhasil
dikuasai oleh Belanda. Keadaan Tuanku Imam Bonjol pada akhir tahun 1832 sangat
terjepit. Belanda sudah menguasai seluruh Minangkabau. Bonjol sudah dikepung
dari segala arah. Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya mati-matian bertahan di
dalam benteng Bonjol yang kuat itu.
Pengepungan Benteng Tuanku Imam Bonjol berlangsung selama 7 bulan. Hingga
akhirnya Belanda mengirim surat perdamaian, tapi Tuanku Imam Bonjol membalasnya
dengan sebuah perundingan yang bersyarat. Karena dianggab merugikan pihak
Belanda, perundingan tidak disetujui oleh Jendral Mayor Cleerens, maka
terjadilah perang besar-besaran pada tanggal 3 Desember 1836. Walaupun Belanda
menggunakan Meriam-meriam besarnya, tetap saja Benteng Tuanku Imam Bonjol tidak
dapat ditembus.
Karena sulit menaklukan Benteng Tuanku Imam Bonjol, samppai-sampai
Belanda harus mengirim Panglima Militer Hindia Belanda yaitu Mayor Jendral
Coclius, prajurit dan peralatan didatangkan ke Minangkabau. Pada tanggal 18 Agustus 1837
akhirnya Benteng jatuh ke tangan Belanda tapi Tuanku Imam Bonjol dapat melarikan diri
bersama keluarganya dan pengikut-pengikut setianya.
Beliau melarikan diri ke Merapak,
Belanda terus mengejar Tuanku Imam Bonjol, sehingga terjadilah aksi kejar
buntut yang mengakibatkan Tuanku Imam Bonjol harus berpindah-pindah mencari
tempat persembunyian yang baru. Hingga suatu saat surat datang dari Belanda
kepada Tuanku Imam Bonjol, untuk berunding di Pelupuh, karena keaadan beliau
memutusakan untuk bersedian menghadiri perundingan. Ternyata beliau ditipu lalu
ditangkap pada tanggal 28 Oktober 1837.
Tuanku Imam Bonjol dipenjarakan di
Bukittinggi, lalu dipindah ke penjara di Padang. Kemudian di asingkan ke
Cianjur di Keresidenan Periangan. Di Periangan beliau sempat menjadi Guru
Agama. Pada akhir tahun 1838 beliau diasingkan ke Ambon. 19 Januari 1939
diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara . Hingga akhirnya pada 8 November 1864 beliau meninggal dengan damai setelah
mengalami masa pengasingan selama 27 tahun, beliau dimakamkan di Lutak,
Minahasa. Tuanku Imam Bonjol merupakan Pahlawan Nasional Republik Indonesia dan
tentunya pemimpin yang tak terkalahkan dari Minangkabau.
Kelebihan tokoh Tuanku Imam Bonjol
1.
Pintar
2.
Cinta damai
3.
Tak pernah puas dengan Ilmu yang didapatkan
4.
Dapat dipercaya
5.
Pantang menyerah
6.
Rela Berkorban
7.
Berpengetahuan tinggi tentang Islam
8.
Jujur
9.
Alim
Kekurangan tokoh Tuanku Imam bonjol
1.
Mudah percaya dengan omongan Belanda
Keteladanan Tuanku Imam Bonjol
- Terus menerus dalam mencari ilmu
- Pantang menyerah meskipun banyak halangan.
- Amanah
Sisi Menarik
Sosok pemimpin yang adil, bijaksana, dan
bertanggungjawab. Dibuktikan ketika dia menjadi pimpinan kaum Paderi dia dapat
menyatukan seluruh rakyat paderi untuk melawan Belanda tanpa ada rasa takut.
0 komentar:
Posting Komentar